Pribumisasi Tafsir Tarjuman Mustafid karya Abdur Rauf Al-Sinkl



Profil Abdur Rauf al-Sinkly

Nama lengkap Abdur Rauf al-Sinkly, dalam pandangan Dr.Rinkes ialah Syaikh Aminuddin Abdurrauf bin ‘Ali Al Jawy, Tsummal Fanshuri Al Sinkily.  Sebagian ahli mengatakan bahwa Abdur Rauf al-Sinkly merupakan orang asli Singkil yang telah menganut Islam. Hal ini ditujukkan dengan tambahan nama lengkapnya Al-Sinkly yang merujuk kepada daerah Singkel, terletak di Pesisir Barat Pulau Sumatra. Adapun al-Jawi, dalam pandangan Hamka, pada zaman dulu Ibn Batutah menamakan al-Jawy untuk daerah Penduduk Siam (Thailand), Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Mindano yang sekarang ialah Filipina. Diperikarakan ia lahir pada tahun 1615M.

Proses menuntut ilmu berawal dari ayahnya sendiri, lalu ulama-ulama yang berada di daerah Fansur dan banda Aceh. Setelah itu ia menuntut Ilmu ilmu Agama di Mekkah. Sekembalinya di Mekkah, pada tahun 1662 M. Ia berdakwah menyebarkan Islam, salah satu murid yang terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatra Barat) dan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).  Selain itu Ia juga memperkenalkan pertama kali Tarekat Syattariah di Nusantara. Pada tahun 1655 M Syeikh Abdurrauf Al-Sinkly menjabat Mufti di Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar ‘Qadi Malik al-Adil’.

Karya yang ditulis oleh Syeikh Abdurauf Al-Sinkly sangat memperhatikan kondisi masyarakat Aceh pada waktu itu, sehingga karyanya selalu menyesuaikan dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Beberapa diantaranya, di bidang Fiqih, Majmu’ul Masaa-il (Kumpulan masalah-masalah), dalam bidang akhlaq Al Mawaa’zh Al Badii’ah. Dan dalam bidang Tafsir Alquran, Tafsir Tarjuman al-Mustafid. Karya Tafsir ini yang menjadi magnum opus.

Karakteristik Tafsir Abdu Rauf Al-Sinkly

Terdapat perdebatan, apakah karya Abdur Rauf al-Sinkly merupakan tafsir atau terjemah. Sebagian pengkaji mengatakan bahwa karya Abdurrauf al-Sinkly merupakan terjamah dari tafsir Baydawi. Beberapa contoh menunjukkan kesamaan dengan penafsiran Baydawi. Namun hal tersebut dibantah oleh beberapa tokoh yang menunjukkan karya Abdur Rauf al-Sinkly merupakan tafsir.

 Argumen yang di bangun diantarnya pertama, dari segi metodologi menunjukkan perbedaan dengan tafsir Badydawi dari penyajian keutamaan surat dalam Alquran. Badyadwi secara konsisten mencantumkan pada tiap akhir surat, sedangkan Abdur Rauf al-Sinkly tidak secara konsisten mencantumkannya. Selain itu, penafsiran Baydawi sangat melekat dengan gramatikal berebeda dengan karya Abdur Rauf al-Sinkly tidak banyak menggunakannya. Kedua, dari sumber rujukan, tidak hanya merujuk kepada tafsir Badydawi, tetapi beberapa tafsir Jalalain, al-Khazin, Mana Fi al-Qur’an. Penjelasannya banyak pada riwayat israilat, Qira’at, dan Asbabun Nuzul tidak dilakukan oleh Al-Baydawi.

Karya Tarujuman al-Mustafid dapat dikatakan sebagai tafsir karena melingkupi dua aspek penting, pertama dari kualifikasi penulis dan kedua, metodologi penafsiran yang digunakan. Sehingga Ini merupakan tafsir pertama yang ditulis oleh orang melayu secara lengkap 30 Juz. Walaupun tanggal penulisan tidak dicantumkan, tetapai menurut Azyumardi Azra karya tersebut dapat dilacak dari karir intelektualnya  ketika menjabat sebagai mufti di Aceh sekitar abad ke XVI M.

Arab Pegon dalam penafsiran Nusantara

Abdur Rauf Al-Sinkly dapat dikatakan sebagai pencetus penafsiran bernuansa lokal Dalam istilah Gusdur disebut pribumisasi Islam. Kategorisasi pribumisasi Islam dalam pemikiran Gusdur mencakup tiga hal. Pertama, bersifat kontekstual yakni menyesuaikan waktu dan zaman. Kedua, bersifat progresif yakni kemajuan dipahami bukan sebagai ancaman. Ketiga liberatif yakni ajaran yang dapat menjawab problem sosial. Hal ini memberikan pengaruh intelektualitas keagamaan Ulama Nusantara yang mamu mentransmisikan Islam sebagai agama dalam sebuah kerangka kebudayaan, tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. 

Tiga kategorisasi dalam pribumisasi Islam terdapat pada penafsiran yang dituliskan oleh Abdur Rauf al-Sinkly. Pertama. Kontestualisasi, penulisan Tarjuman al-Mustafid menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Aceh dengan penggunaan bahasa Melayu. Kedua, Progresif, karya yang ditulis sebagai pembaharu dengan menyesuaikan zaman. Ketiga. Liberatif bahwa adanya Tarjuman al-Mustafid sebagai solusi terhadap sebagian masyarakat Aceh dalam keberagamaannya bersifat estetoris beraliran kebatinan, dan sedikit memahami literatur keagamaan. Disinilah gagasan baru yang dicetuskan oleh Abdur Rauf al-Sinkl untuk pemahaman atas sumber teks maka perlu ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, yakni menggunakan Arab Pegon.

Posting Komentar

0 Komentar